Keterbukaan dalam Ekonomi Digital

Oleh: Asrul Sidiq

Penulis adalah Mahasiswa S3 di The Australian National University

asrul sidiqEkonomi digital berkembang sangat cepat dan menjadi pilar dalam perkembangan dunia. Dalam 25 tahun terakhir, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia meningkat hanya tiga kali lipat, sementara PDB Tiongkok meningkat sepuluh kali lipat. Salah satu kuncinya ada pada perkembangan ekonomi digital yang cukup pesat.

Presidensi Indonesia G20 2022 dengan tema "Recover Together, Recover Stronger” mengangkat salah satu fokus utamanya pada transformasi digital, di samping kesehatan global dan transisi energi. Liga Arab yang beranggotakan lebih dari 20 negara juga telah menyusun “Arab Digital Economy Vision”.

Pada akhir Agustus 2022, Bank Indonesia (BI) secara resmi mengumumkan bahwa mata uang Rupiah kini dapat digunakan sebagai alat pembayaran di Thailand. Pembayaran secara non-tunai dengan menggunakan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) kini telah dapat digunakan antarnegara. Biaya transaksi menggunakan QRIS ini dipastikan lebih murah dibandingkan tarik tunai di Automatic Teller Machine (ATM) Thailand, tukar uang di money changer, maupun penggunaan kartu kredit.

Tidak hanya Thailand, dalam waktu dekat digitalisasi pembayaran menggunakan QRIS ini akan dapat dilakukan di lima negara di Asia Tenggara (Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina). Digitalisasi pembayaran seperti ini jelas akan memberi dampak positif terhadap pariwisata, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), dan perkembangan ekonomi digital.

Integrasi ekonomi dan keuangan digital melalui QRIS telah menunjukkan perkembangan yang signifikan sejak pertama kali diluncurkan tahun 2019. Saat ini jumlah pedagang yang menggunakan QRIS di Indonesia sudah lebih dari 20 juta, dengan 90% diantaranya adalah UMKM. Selain itu, jumlah transaksi dengan QRIS sepanjang tahun 2021 meningkat sebanyak 202,41% dari jumlah transaksi tahun 2020. Tidak hanya untuk berbelanja, QRIS juga mulai digunakan sebagai media untuk donasi/sedekah di mesjid.

Digitalisasi UMKM dapat menjadi stimulus bagi perekonomian tidak hanya dalam sektor pembayaran, namun juga digitalisasi dalam sektor perdagangan. Sistem belanja dan transportasi online telah terbukti membuka lapangan pekerjaan yang memberikan kontribusi pada peningkatan perekonomian.

Ekonomi digital telah mengubah pasar menjadi lebih besar dengan adanya berbagai macam marketplace. Dengan berkembangnya e-commerce membuat UMKM dapat memperluas jangkauan ke seluruh Indonesia hingga mancanegara.

Tantangan kebijakan

Beberapa waktu lalu Aceh dihebohkan dengan fenomena seorang wisatawan asing yang tidak bisa menarik uang di ATM. Turis tersebut mengeluhkan susahnya akses agar kartu debit/kreditnya dapat digunakan sebagai alat transaksi dan/atau alat utuk penarikan uang di ATM. Namun, kedua hal tersebut gagal didapatkannya. Apa yang salah? Dan apa tantangan ekonomi digital di Aceh ke depan?

Mengutip penjelasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam Cetak Biru Transformasi Digital Perbankan, penulis mencoba merangkum beberapa potensi dan tantangan ekonomi digital dan mengaitkannya dalam konteks spesifik di Aceh saat ini.

Pertama, infrastruktur digital yang belum merata. Infrastruktur perbankan masih hanya terpusat di kawasan perkotaan. Seperti halnya wisatawan asing yang tidak bisa menarik uang di ATM dikarenakan ketiadaan fasilitas ATM berlogo Visa/Master Card di lokasi yang cukup jauh dari ibukota provinsi. Tidak hanya fasilitas ATM dan Electronic Data Capture (EDC), kita juga perlu memikirkan pemerataan infrastruktur digital lainnya berupa akses internet dan fasilitas penunjang seperti QRIS.

Tren digitalisasi perbankan telah membuat jumlah ATM terus berkurang. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah mesin ATM terus berkurang sejak 2017. Saat ini transaksi menggunakan dompet digital dan QRIS semakin meningkat. Tren ini diprediksi akan terus melonjak seiring dengan semakin meningkatnya penetrasi internet dan populasi yang melek digital.

Saat ini kita masih menemukan tingginya populasi masyarakat yang belum punya rekening bank dan memiliki keterbatasan akses terhadap layanan keuangan terutama di kawasan perdesaan. Perbankan digital berpotensi untuk mengisi ruang tersebut dalam rangka peningkatan inklusifitas keuangan masyarakat. Selain itu, ada potensi transaksi uang elektronik yang kian meningkat seiring semakin maraknya belanja online dan penggunaan e-money.

Bank Digital tidak memiliki kantor cabang karena semua pelayanan dilakukan secara digital. Salah satu bank digital dengan pengguna terbanyak di Indonesia saat ini adalah Bank Jago yang juga mempunyai unit syariahnya yaitu Bank Jago Syariah. Selanjutnya ada Bank Aladin yang khusus hanya pada unit syariah. Selain tentunya bank-bank BUMN yang juga telah mulai mengeluarkan produk bank digitalnya masing-masing.

Kedua, masih banyak masyarakat yang belum memiliki literasi digital dengan baik. Mulai meningkatnya pengguna smartphone menjadi hal positif tidak hanya sebagai media pembayaran digital, tapi juga untuk pemanfaatan platform digital dalam pengembangan bisnis. Jangan malah peningkatan penggunaan smartphone justru dimanfaatkan hanya dalam aspek konsumtif.

Literasi yang baik dapat berdampak bagi penurunan kesenjangan di masyarakat perdesaan. Sebagai contoh, harga pinang di petani saat ini sangat murah, sementara jika kita melihat harga di beberapa marketplace Indonesia bisa dijual dua kali lipat dari harga di petani. Jika saja petani memiliki literasi yang baik terhadap ekonomi digital, tentunya dia dapat menjangkau akses pasar yang lebih besar dengan harga lebih baik.

Oleh karena itu, kunci untuk bisa terhubung dari inklusi ke penurunan kesenjangan adalah pada edukasi dan literasi. Inklusi harus ditempel dengan edukasi. Di situlah ruang yang perlu diisi.

Ketiga, regulasi yang sering kali kebingungan mengejar kecepatan perkembangan teknologi. Dalam isi Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) misalnya tidak ditemukan pembahasan terkait ekonomi digital. Padahal teritori bukan lagi suatu batasan dalam perkembangan ekonomi digital.

Dalam membuka rekening bank tertentu kini dapat dilakukan secara online tanpa perlu tatap muka, lalu kartu debit fisik dapat dikirimkan melalui pos. Kemudian segala aktivitas keuangan bisa dilakukan melalui aplikasi yang juga terhubung dengan ekosistemnya masing-masing.

Lalu pertanyaannya apakah dalam naskah akademik penyusunan Qanun LKS ini sudah mempertimbangkan aspek digital? Apakah pembatasan layanan lembaga keuangan konvensional berbasis teritori wilayah seperti di Aceh saat ini masih relevan? Apakah mungkin hal tersebut dapat dikontrol dalam teritori digital? Bagaimana implikasinya terhadap persoalan defisit Aceh akan net ekspor antar daerah yang begitu besar? Bagaimana kaitannya dalam rangka perwujudan ekonomi masyarakat Aceh yang adil dan sejahtera dalam syariat Islam?

Masa depan

Digitalisasi mengakibatkan dunia menjadi begitu dinamis dan berubah begitu cepat. Selama masa pandemi kita dapat melihat bahwa orang-orang yang mampu bertahan dan bangkit lebih cepat salah satunya dicirikan dengan kemampuan adapatasi digital yang baik. Baik itu dalam bentuk pertemuan hingga jual beli secara daring.

Namun, tidak sedikit yang sulit melakukan penyesuaian. Salah satu penyebab sulitnya melakukan penyesuaian adalah tidak adanya keterbukaan. Termasuk di dalamnya adalah keterbukaan terhadap kritik.

Qanun syariat bukanlah hal yang bebas dari kritik sebab disusun oleh manusia. Hal ini berbeda dengan syariat yang tidak bisa dikritik karena terkait dengan keimanan. Jadi tidak boleh sembarangan menuduh orang anti syariat ketika orang tersebut mengkritik produk ciptaan manusia, karena syariat dan qanun syariat itu tidak sama.

Sains dan teknologi sangat dikedepankan dalam masa keemasan Islam di zaman Abbasiyah ditunjukkan dengan adanya Bayt al-Hikmah atau Rumah Kebijaksanaan. Tempat yang kemudian menjadi perpustakaan yang sangat besar yang bisa mengumpulkan karya-karya yang luar biasa. Tempat yang juga menunjukkan keteladanan akan toleransi dan keterbukaan untuk belajar dari seluruh dunia.

Pengedepanan akan sains dan teknologi menjadi penting di era digitalisasi yang berubah begitu cepat. Untuk itu kita harus dapat berfikir jangka panjang, jangan hanya fokus pada jangka pendek. Jangan sampai kita terlambat apalagi tertinggal! Tunjukkan bahwa kita mampu beradaptasi dengan perkembangan digital dalam rangka mewujudkan inklusifitas, keadilan, dan kesejahteraan!