Kelompok Etnik Bersenjata Karen Belajar Perdamaian di Aceh

Portalsatu.com - 15 February 2016 21:15 

BANDA ACEH – Tiga kelompok etnik bersenjata (Ethnic Armed Organizations- EAOs) Myanmar bertemu dengan beberapa tokoh dan organisasi di Aceh sejak Minggu, 14 Februari 2016. Rangkaian kegiatan kelompok etnik bersenjata Myanmar ini di Aceh dijadwalkan berlangsung selama sepekan.

Kelompok yang berasal dari etnik Karen ini adalah kelompok bersenjata yang sudah menandatangani perjanjian gencatan senjata nasional (National Ceasefire Agreement, NCA) Myanmar. Mereka terdiri dari Karen National Union/Karen National Liberation Army (KNU/KNLA), Democratic Karen Benevolent Army (DKBA), dan Karen National Union/Karen National Liberation Army Peace Council (KNU/KNLA PC). Misi kunjungan kelompok Karen adalah untuk belajar, memahami tentang proses perdamaian, pencapaian selama ini dan tantangan yang dihadapi bagi perdamaian yang berkelanjutan.

Di samping itu kelompok ini juga belajar pada pengalaman Aceh tentang tahapan- tahapan dalam transisi dan transformasi dari pejuang kemerdekaan yang kemudian menjabat posisi penting di pemerintahan.

Kelompok bersenjata Karen bertemu Wali Nanggroe Malik Mahmud Al Haytar di kantornya, Senin, 15 Februari 2016. Pada kesempatan ini Wali Nanggroe memaparkan perjuangan Aceh, konflik Aceh serta proses perdamaian Aceh yang telah diinisiasi sejak tahun 1999, yang difasilitasi oleh Henry Dunant Centre. Menurut Malik Mahmud, proses perdamaian Aceh sempat mengalami maju dan mundur.

Malik Mahmud mengatakan proses menuju damai Aceh memiliki banyak tantangan dan hambatan yang dihadapi. Kondisi tersebut nyaris sama dengan konflik Myanmar yang saat ini sudah mulai memasuki fase damai, namun masih ditemui beberapa tantangan.

Wali Nanggroe menganjurkan kepada para pihak yang berkonflik, kelompok bersenjata di Myanmar untuk mengikuti cara-cara melalui meja perundingan atau dialog. Dulu, kata dia, pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berfikir tidak ada solusi lain selain dengan berperang. Namun ternyata ada harapan solusi lain yaitu melalui dialog yang ternyata dapat membawa damai berkelanjutan dan menguntungkan semua pihak.

“Jika anda melakukan dialog maka anda akan mendapat dukungan dari rakyat dan juga komunitas internasional,” kata Malik Mahmud.

Wali Nanggroe berharap kelompok-kelompok bersenjata ini dapat bersatu agar dapat menjadi lebih kuat dan dianggap penting oleh pemerintah nasional. Kelompok Karen juga diharapkan dapat mengambil kesempatan berdialog agar tercapainya perdamaian dan mengambil keuntungan.

“Perdamaian ini bukan hanya untuk kelompok Karen tapi juga untuk rakyat anda,” kata Malik Mahmud.

Dalam kunjungan ini, kelompok bersenjata terdiri dari 15 pejabat tinggi dan sayap militer kelompok Karen. Mereka dipimpin langsung oleh Jenderal Isaac Po, dan didampingi oleh staf dari Center for Peace and Conflict Studies bekerjasama dengan lembaga riset International Center for Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS).

Selain berdiskusi dengan Wali Nanggroe, grup bersenjata ini juga akan belajar dan berdiskusi secara intensif dengan Gubernur Aceh, Walikota Banda Aceh, para mantan kombatan dan anggota GAM, anggota partai lokal di Aceh, akademisi, LSM, organisasi masyarakat sipil, media, dan pihak-pihak yang pernah berkontribusi dalam proses perdamaian Aceh sejak era 1999.

Sebagai catatan, memasuki tahun keempat transisi di Myanmar ada banyak perubahan yang sudah dan masih terjadi di bawah pemerintah militer/sipil pimpinan mantan Jenderal Thein Sein. Sebelum menjadi Presiden, Thein Sein mengumumkan pemerintahannya akan mengubah dan memperbaiki sektor sosial dan ekonomi.

Kelompok etnik bersenjata Karen adalah salah satu kelompok yang ikut menandatangani perjanjian gencatan senjata untuk seluruh negeri (National Ceasefire Agreement-NCA) pada Oktober 2015. Delapan organisasi bersenjata etnik (Ethnic Armed Organizations, EAOs) ikut menandatangani NCA. Setelah dua tahun percakapan damai dimulai oleh pemerintah baru, strategi negosiasi dari dua pihak menjadi lebih matang.

Saat ini, semua upaya bertujuan untuk menjalankan dan melaksanakan kerangka untuk dialog politik(Framework for Political Dialogue). Hal ini bersamaan dengan Negara Myanmar yang sedang dalam proses perubahan pemerintah pimpinan National League of Democracy (NLD) Daw Aung San Syu Kyi.

Salah satu komponen sangat penting agenda perbaikan politik adalah memulai pembicaraan damai dengan berbagai kelompok bersenjata etnik. Mereka telah memperjuangkan pemerintah pusat Myanmar sejak kemerdekaan 1948 untuk kesetaraan, penentuan nasibnya sendiri dan bentuk pemerintahan serikat yang benar.

Sesudah beberapa pertemuan perdamaian dengan kelompok bersenjata etnik yang mulai sejak 2011, pemerintah Myanmar telah menandatangani perjanjian gencatan senjata bilateral dengan 14 dari 17 kelompok bersenjata utama.[](bna) [Source]