“CADARISME” DAN ISLAM WASATIYYAH

Oleh : Nisa Khairuni
Penulis adalah tim redaksi Jurnal Ilmiah Dayah : Journal of Islamic Education,
Prodi S2 Pendidikan Agama Islam Pascasarjana
UIN Ar-Raniry 


Beberapa hari lalu, terjadi pertemuan ulama-ulama dunia dalam acara Konsultasi Tingkat Tinggi (KTT) Ulama dan Cendekiawan Muslim Dunia di Istana Bogor, Jawa Barat (1-3/5/2018). Salah satu pesan yang dihasilkan dalam pertemuan penting tersebut adalah mengenai pentingnya mengembangkan Islam Wasatiyyah (Islam Moderat).

Tulisan berikut tidak membahas secara spesifik pesan KTT di atas, akan tetapi mencoba mengangkat isu yang juga masih hangat diperdebatkan tentang cadar dan hubungannya dengan pesan Islam Wasatiyyah hasil KTT tersebut di atas.

Cadarisme, UU Pendidikan Tinggi dan Islam Wasatiyyah
Tentu kita masih ingat bagaimana isu cadar menjadi fenomena perdebatan, terutama ketika terjadi pelarangan cadar di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pada waktu itu Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof. Yudian Wahyu sempat melakukan pembinaan dan menyebut cadar identik dengan radikalisme, sehingga dikeluarkanlah Surat Rektor No B- 1301/Un.02/R/AK.00.3/02/2018 tentang Pembinaan Mahasiswi Bercadar.  


Meskipun akhirnya Rektor UIN Jogja tersebut mengeluarkan surat bernomor B-1679/Un.02/R/AK.00.3/03/2018 untuk mencabut Surat Tentang Pembinaan Mahasiswi Bercadar, namun sebagai sebuah catatan, pelarangan secara resmi sedemikian rupa telah menimbulkan efek yang justru mendiskreditkan para pemakai cadar, sehingga memunculkan stereotip negatif kepada mereka. Bagaimana tidak? Dalam aturan tersebut disebutkan kata “pembinaan” seolah-olah mahasiswi bercadar ini benar-benar orang-orang yang beraliran radikal, fundamentalis, teroris atau isu-isu negatif lainnya. Seharusnya jika ada wanita bercadar yang berbuat salah, maka seharusnya yang dihukum adalah perbuatannya, bukan cadarnya. Bukan karena hanya segelintir oknum pemakai cadar yang salah langkah, lalu kemudian semua disamaratakan. Bukankah banyak di luar sana, pemakai cadar yang memiliki sifat yang baik, berprestasi tinggi, memiliki profesi bagus dan berjabatan tinggi?

Jika pelarangan cadar di atas dilihat dalam perspektif peraturan perundang-undangan di Indonesia, secara prinsip pada dasarnya tidak sesuai dengan Pasal 6 UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Dalam pasal ini disebutkan  bahwa Pendidikan Tinggi diselenggarakan dengan prinsip: (b) Demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa. Jika kampus dituntut untuk tidak diskriminatif, maka aturan pendataan dan pembinaan tertentu justru telah membuat diskriminasi pada mahasiswi yang bercadar. Dengan ungkapan lain, berdasarkan aturan ini, maka tidak seharusnya pihak kampus menyamaratakan kaum bercadar, karena kampus merupakan lingkungan yang menjunjung tinggi kebebasan akademik bagi pengembangan ilmu pengetahuan.



Jika ada orang yang khawatir bahwa apabila semua wanita muslimah memakai cadar, maka laki-laki akan menyukai sesama laki-laki karena pesona wanita tak tampak lagi di atas bumi ini, maka bagaimana seseorang bisa mencintai Allah yang tak berbentuk. Jika seorang laki-laki mencintai wanita hanya karena wajah cantiknya, maka akan tiba saatnya kecantikan wanita akan hilang. Hukum bercadar sendiri menurut 4 imam mazhab semuanya menganjurkan wanita muslimah menggunakan cadar, bahkan sebahagiannya sampai kepada anjuran wajib.

Maka sangat disayangkan, jika wanita tidak diberi kebebasan secara penuh menjalankan keyakinannya untuk melindungi dirinya sendiri, terlebih dalam sebuah instansi keagamaan. Oleh karena itu, seharusnya yang perlu dikembangkan adalah sikap saling menghormati antara kelompok yang pro cadar dengan yang kontra cadar. Bagi yang pro cadar, tidak seharusnya memandang golongan yang tidak setuju dengan cadar sebagai golongan yang liberal, tidak Islami, dsb. Sebaliknya bagi pihak yang kontra dengan pemakaian cadar, maka tidak perlu pula menghakimi pemakai cadar dengan cap radikalis, fundamentalis dst.Kedua-duanya semestinya saling memposisikan diri sebagai pihak yang menghargai satu sama lain. Tidak perlu saling memandang “nyinyir”, menjatuhkan, mendiskreditkan, apalagi memberangus.

Penutup
Sikap saling menghormati perbedaan seperti di atas adalah sejalan dengan pesan Islam Wasatiyyah yang disampaikan dalam KTT Ulama dan Cendekiawan Muslim Dunia di Istana Bogor, Jawa Barat (1-3/5/2018), di mana salah satu poinnya adalah mengembangkan sikap tasamuh (toleransi) terhadap segala macam perbedaan. Sikap saling memojokkan dan mendiskreditkan antara yang pro cadar dengan yang kontra cadar hanya berimbas pada perdebatan yang tidak perlu, bahkan potensial menjadi faktor yang memecah belah persatuan umat Islam. Oleh sebab itu, sekali lagi penting untuk dihindari.

Search

keluarga relasi kuasal di Aceh

 

Call for Article

ICAIOS welcomes scholars and researchers to publish scientific or popular articles. See the article guideline HERE 

Want to get more involved with ICAIOS activities?
If yes, complete the form here

Also check our latest Public Discussion and Guest Lecture Series videos
Subscribe us on Youtube  

 

 

 

iconKM2

Our Partners

 

PRISB spf bandar publishing


NP Integral Logo
logoGlobed logo eos smeru
IDR Perak logo1  logo toyotafoundation
arsitektur unsyiah AI
pascasarjanauin GIZ pusatstuditelematika
PPIM UIN min ctcs
ccis Logo UBBG Sekunder Vertikal
 
logotdmrc
 KAS logo4