By : Adri Syakir
Penulis adalah lulusan Universitas Syiah Kuala
Email :adri.syakir@gmail.com
Kalau orang bule punya istilah “scapegoat”, orang Indonesia tidak mau kalah membuat istilah sendiri, “Kambing Hitam”. Siapa yang tidak tahu kambing hitam? Sepertinya kebanyakan orang Indonesia mengetahui apa makna kambing hitam, makhluk populer teman “buaya darat”. Konotasi kambing hitam memang sarat dengan hal negatif, pesakitan, tumbal alias pihak yang disalahkan, tapi konotasinya akan berubah positif kalau si kambing diolah menjadi gulai kambing atau kambing guling.
Fenomena kambing hitam atau mengkambing hitamkan orang lain sudah menjamur di masyarakat sejak dulu, bahkan sejak Negara ini belum merdeka, atau mungkin lebih lama lagi, siapa yang tahu. Secara istilah, kambing hitam bermakna orang atau suatu faktor eksternal yang sebenarnya tidak bersalah, tetapi dituduh bersalah atau dijadikan tumpuan kesalahan. Namun masyarakat Indonesia tidak perlu berkecil hati, fenomena ini terjadi juga pada masyarakat di seluruh dunia baik di negara maju, berkembang, atau miskin. Tentu saja embel-embel Indonesia sudah merdeka namun pemikiran masyarakat masih terjajah, tidak akan mempan menjelaskan fenomena “perkambinghitaman” ini.
Kambing Hitam dan Fenomena Sosial
Pada dasarnya jika dijelaskan dari kacamata psikologis, fenomena kambing hitam ini bisa menjadi semacam cara untuk melarikan diri, contohnya seseorang yang gagal biasanya akan merasakan kekecewaan. Perasaan ini merupakan suatu perasaan yang tidak menyenangkan, sehingga orang-orang yang mengalaminya ingin cepat-cepat dan segera mengembalikan perasaan seperti sedia kala. Nah, cara yang paling mudah terbisik di benak adalah dengan menimpakan kesalahan kepada orang lain atau suatu faktor eksternal yang memungkinkan. Mengutip sebuah literature psikologi sosial yang ditulis oleh oleh Michener dan DeLamater pada tahun 1999, fenomena ini disebut sebagai self-serving bias atau penilaian yang salah tentang diri sendiri. Artinya bila suatu keberhasilan diraih maka kita tidak segan-segan mengatakan bahwa hal itu karena usaha sendiri yang tidak kenal lelah. Hal yang menarik adalah bila kegagalan menghadang maka dengan lantang pula kita akan menyalahkan orang lain atau suatu faktor eksternal.
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak dari kita yang menyadari ada yang salah dengan keadaan atau perilaku atau tatanan kebiasaan dalam masyarakat, namun tidak satu pun yang menyadari untuk menerimanya jika disalahkan atas kejadian negatif yang terjadi. Contohnya, banyak mahasiswa di kampus-kampus mengeluhkan susahnya mendapat ilmu mendalam karena terbatasnya fasilitas. Mungkin itu masuk akal, namun tidak satupun yang mau terima jika dikatakan itu terjadi bukan karena masalah fasilitas, tapi lebih pada pribadi mahasiswanya yang malas. Contoh yang lain, banyak orang tua ketika menumpahkan uneg-uneg (curhat) kepada temannya atau sanak keluarganya sambil mengatakan betapa nakal dan susah diaturnya anak mereka, tapi orang tua mana yang terima jika dikatakan bahwa itu adalah salah mereka dalam mendidik anak? Lagi-lagi kambing hitam yang paling mudah dijadikan tumbal.
Mengkambinghitamkan Tuhan (?)
Parahnya lagi, tak ayal bahkan Tuhan pun kadang kala dijadikan kambing hitam oleh manusia-manusia yang tidak bertanggung jawab. Alasan pelarian yang seperti ini biasanya dipakai manusia yang setelah menemui kegagalan tidak mau berusaha lagi. Alih-alih mendengar nasihat dari orang lain, tinggal salahkan saja Tuhan, selesai masalah. Kasus seperti ini mirip dengan manusia-manusia yang menolak berobat ke dokter dengan dalih penggunaan obat-obatan kimia. Lalu setelah terjangkit penyakit malah menyalahkan Tuhan yang tidak menjawab doa-doanya agar selalu diberikan kesehatan. Nah lho?!
Sebagai refleksi lain, kita bisa melihat sebuah kasus yang terjadi belum lama ini, tentang beberapa siswa SD yang merundung kawannya yang sesama siswa SD sampai korban meninggal dunia. Kita semua tahu dan sadar bahwa yang namanya anak SD itu cara berfikirnya belum mantap, belum dewasa, tidak mungkin mempunyai keinginan untuk menghilangkan nyawa seseorang dengan serius. Mereka hanya anak-anak yang merundung anak lain karena bagi mereka mungkin hal sedemikian rupa dipandang keren, ataupun mungkin agar terlihat sebagai jagoan neon yang hebat.
Dalam konteks kasus di atas, saya secara pribadi bukan berarti membenarkan tindakan perundungan. Tapi kita lupa, bahwa mereka menjadi sedemikian “brutal” tentu bukan sim salabim. Ada faktor lain yang pasti mempengaruhi mereka akibat lingkungan sekitar yang dicontohnya. Tayangan-tayangan media yang beraroma kekerasan di TV atau media online secara massif; aksi main hakim sendiri yang dipertontonkan dengan telanjang dalam realitas sosial-kemasyarakatan karena banyak yang tidak percaya dengan hukum; adalah faktor-faktor pendorong yang bisa diduga kuat menjadi penyebab. Nah, kalau sudah seperti ini, siapa yang mau disalahkan? Tuhan lagi? atau si Kambing Hitam? Dasar Kambing Hitam! Elu lagi! Elu lagi!