Oleh : Saifuddin
Penulis adalah Mahasiswa Prodi S2 Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana UIN Ar-Raniry
Umar bin Khattab adalah khalifah kedua setelah Abu Bakar. Ia dilantik oleh umat Islam berdasarkan rekomendasi Abu Bakar tatkala merasa usianya tidak lama lagi. Keputusan penunjukan Umar diharapkan mampu meminimalisir polemik yang terjadi di antara umat Islam (Ahmad Al-Usairy, 2003: 155). Karena pada masa Khalifah Abu Bakar terdapat banyak problem, di antaranya orang-orang yang tidak membayar zakat, orang murtad, dan nabi palsu.
Umar bin Khattab, selain sebagai kepala pemerintahan, juga berperan sebagai seorang faqih. Perannya dalam pandangan hukum membuatnya berpengaruh besar pada masanya hingga saat ini. Pada masa Khulafaur Rasyidin, syari’at Islam juga tidak dapat diterapkan secara kaffah, karena pada saat itu para sahabat dihadapkan pada berbagai kenyataan hidup dan kondisi sosial yang berbeda dengan apa yang terjadi pada masa rasul, sehingga mereka dituntut untuk melakukan ijtihad dan musyawarah. Pada suatu ketika para sahabat bisa saja sependapat mengenai satu hal tetapi pada saat yang lain tidak menutup kemungkinan justru berselisih pendapat. Hal demikian juga terjadi pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab (Quhtb Ibrahim Muhammad, 2002: 8). Umar ketika ingin memutuskan sesuatu yang terkait dengan hukum, selalu berpegang teguh pada Al-Qur’an sebagai perundang-undangan (dustur) utama dan pertama dalam Islam. Setiap pandangan hukum yang difatwakan olehnya selalu berdasarkan ketentuan tersebut. Namun demikian, sebagian besar kebijakan yang dibentuk untuk menetapkan suatu hukum, oleh Umar tidak lepas dari aspek-aspek kemaslahatan umat, seperti menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan sosial, tolong menolong, dan penegakan hak-hak yang ada dalam masyarakat, termasuk juga dalam kebijakan ekonomi. Umar juga dikenal sangat berani melakukan ijtihad, hal ini dilakukan karena Umar melihat lebih jauh dan lebih mendalam terhadap ajaran Islam, yaitu adanya prinsip kemaslahatan umat (Abbas Mahmud Aqqad, 1992: 46).
Artikel ini merupakan upaya untuk menyajikan sejarah Umar bin Khattab dalam kiprahnya membangun peradaban Islam. Tanpa bermaksud mengecilkan aspek-aspek yang lain, penulis hanya fokus pada aspek pendidikan.Hal ini penting untuk mempertajam pada pembahasan sejarah sosial dan pendidikan Islam masa Khalifah Umar bin Khattab.
Sejarah Sosial Pendidikan pada Masa Umar
Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab kondisi politik dalam keadaan stabil, usaha ekspansi wilayah juga mendapat hasil yang gemilang. Wilayah Islam pada masa Umar meliputi semenanjung Arab, Palestina, Syiria, Iraq, Persia dan Mesir (Hanun Asrahah, 2001: 37). Dengan luasnya wilayah tersebut maka semakin besar juga kebutuhan kehidupan di segala bidang. Sebagai penunjang kebutuhan tersebut manusia membutuhkan keterampilan dan keahlian, maka diperlukan pendidikan.
Dalam hal ini perhatian Umar dapat diketahui melalui kebijakannya dengan memerintahkan kepada setiap panglima perang bila berhasil menaklukkan suatu wilayah maka harus mendirikan masjid sebagai Islamic Center atau pusat ibadah dan pendidikan (Samsul Nizar, 2007: 47). Ia juga melarang sahabat-sahabat senior untuk keluar dari daerah kecuali atas izin darinya dan dalam kurun waktu yang terbatas. Jadi, jika ada di antara umat Islam yang ingin belajar ilmu agama, maka harus pergi ke kota Madinah. Hal ini mengindikasikan bahwa penyebaran Ilmu para sahabat dan tempat pendidikan adalah terpusat di kota Madinah.
Begitu pun dengan Umar sendiri, ia merupakan seorang pendidik yang memberikan penyuluhan di kota Madinah. Umar juga mengangkat dan menunjuk guru-guru untuk setiap daerah yang ditaklukkan itu, tugas mereka mengajarkan kandungan Al-Qur’an dan ajaran Islam lainnya kepada penduduk yang baru masuk Islam. Di antara sahabat-sahabat yang ditunjuk oleh Umar ke daerah adalah Abdurrahman bin Ma’qal dan Imran bin Hasim. Keduanya ditempatkan di Bashrah (Samsul Nizar, 2007: 47).
Adapun metode yang mereka gunakan adalah dengan membuat halaqah yaitu guru duduk di ruang mesjid sedangkan murid melingkarinya. Sang guru menyampaikan pelajaran kata demi kata serta artinya kemudian menjelaskan kandungannya, sementara murid menyimak, mencatat, dan mengulanginya apa yang dijelaskan oleh gurunya, serta berdiskusi (Abudin Nata, 2011: 123). Biasanya setiap halaqah terdiri dari dua puluh pelajar.
Untuk tenaga pendidik Umar memberikan honor/ gaji yang bersumber dari pendapatan daerah yang ditaklukkan atau dari Baitul Mal (Gifari, Noor Muhammad, 1989: 35).
Umar bin Khattab juga dipandang sebagai seorang penggagas terbentuknya ilmu pemerintahan Islam. Ia mengaturnya dengan membaginya menjadi beberapa daerah kecil untuk lebih mudah mengkoordinirnya, dan ia juga membentuk pusat-pusat pendidikan di berbagai kota, sehingga kemajuan pendidikan begitu pesat apalagi di dorong oleh keadaan negara yang stabil dan aman.
Lembaga pendidikan pada masa pemerintahan Umar masih sama dengan masa pemerintahan Abu Bakar yaitu masjid dan kuttab. Kuttab adalah pusat pengajaran tertua dalam konteks sejarah di kalangan kaum muslimin. Ahli sejarah Islam mengatakan bahwa dunia Arab telah mengenalnya sebelum kedatangan Islam. Kuttab pada abad pertama hijriah merupakan salah satu prioritas utama yang sangat diperhatikan urusannya, karena sebagai gerbang pintu menuju pengajaran yang lebih tinggi. Kuttab ini menyerupai Madrasah Ibtidaiyah (MI) pada masa sekarang (Raghib As Sirjani, 2011: 203).
Secara definisi, kuttab berasal dari kata taktib yang artinya mengajar menulis. Sementara katib atau kuttab berarti penulis. Mulanya kuttab berfungsi sebagai tempat memberikan pelajaran menulis dan membaca bagi anak-anak. Pendidikan jenis kuttab ini pada awalnya diadakan di rumah-rumah guru. Namun setelah Nabi Muhammad SAW. dan para sahabat membangun masjid, barulah ada kuttab yang didirikan di samping masjid, dan ada juga yang terpisah dari masjid. Masa belajar di kuttab pun tidak ditentukan. Hal ini tergantung keadaan jasmani dan kecerdasan si anak. Sistem pengajaran di kuttab pada masa Umar tidak dibuat kelas (angkatan/ leting).
Refleksi Kekinian
Sudah lumrah, dewasa ini manusia hidup di era millennial dengan segala kemajuan dan perubahan di berbagai bidang. Era yang merupakan lanjutan dari era global ini telah muncul tantangan-tantangan baru yang harus diubah menjadi peluang yang dapat bermanfaat terlebih di bidang pendidikan, sehingga tantangan tersebut membawa berkah bagi setiap yang melakukannya. Era millennial di satu sisi memiliki persamaan dengan era global juga memiliki perbedaan, terutama dalam penggunaan teknologi digital (digital technology) yang melampaui era komputer. Keadaan ini telah mengundang sejumlah pakar untuk angkat bicara dan sekaligus menawarkan berbagai gagasan dalam menghadapinya.
Dengan keadaan negara yang stabil, Umar telah berhasil mengelola pendidikan pada masanya dengan baik, dan juga membuat terobosan-terobosan yang menjadi penunjang majunya pendidikan pada masa itu, di antaranya:
Pertama, menjadikan kota Madinah sebagai pusat pendidikan Islam. Hal ini juga berlaku di Indonesia, pusat pendidikan untuk saat ini secara umum masih terpusat di pulau Jawa atau di ibu kota provinsi untuk daerah-daerah. Namun untuk pendidikan Islam belum ada kota khusus atau lembaga pendidikan khusus sebagai rujukan, kecuali terkait bidang ilmu tertentu. Kementerian Agama sudah membidik institusi pendidikan tertentu terkait bidang ilmu tertentu juga, misalnya program beasiswa lima ribu doktor (Mora Scholarship) dengan konsentrasi fiqh modern dirujuk ke UIN Ar-Raniry Banda Aceh, konsentrasi fiqh mewaris dirujuk ke Riau, konsentrasi bahasa Arab dirujuk ke Malang dan sebagainya.
Kedua, pada masa Umar, tenaga pendidik sudah digaji oleh pemerintahan, begitu pun dengan masa kini. Pengajar juga digaji oleh pemerintah, bahkan dengan fasilitas tunjangan dan sertifikasi. Namun, yang membedakan ialah pada zaman Umar mendapatkan harta atau kekayaan pemerintahan karena perluasan wilayah Islam, dari hasil harta rampasan perang (ghanimah), serta hasil dari pajak bangunan dan tanah. Sementara masa sekarang penghasilan negara bersumber dari berbagai macam, mulai dari pajak bangunan dan rumah, bea cukai pengimporan barang, pajak perusahaan serta berbagai macam pajak yang lainnya serta perusahaan negara yang dikelola oleh BUMN, dan masih banyak pendapatan lainnya yang diperoleh negara.
Ketiga, metode pembelajaran pada masa Umar dengan dibuat halaqah, sementara yang terjadi di masa sekarang hampir sama dengan apa yang dilakukan pada Umar, hanya saja pada masa sekarang justru lebih gampang untuk mengajar, karena ditunjang oleh media canggih, misalnya dengan menggunakan media powerpoint yang dapat membantu guru/ dosen untuk mempresentasikan meteri yang akan diajar. Bagi pelajar pun dapat memperoleh bahan tambahan lainnya dengan mudah dan cepat apabila mereka masih kurang atas pengajaran guru di kelas, mereka dapat mengakses informasi terkait dengan mudah di internet, bahkan bisa mengikuti program literasi yang diterapkan oleh Najwa Shihab sebagai duta baca Indonesia periode 2016-2020.
Keempat, kurikulum atau materi pelajaran yang ditetapkan pada masa Umar mungkin tidak jauh berbeda dengan yang diterapkan oleh pemerintah terhadap pendidikan di Indonesia, namun pada masa sekarang lebih banyak terkait kurikulum materi, bahkan bagi para guru dalam harus mampu membuat metode atau modul pembelajaran.
Penutup
Berdasarkan uraian dan kontekstual di atas, dapat dipahami bahwa dengan keadaan yang masih sederhana, pendidikan pada zaman Umar sudah mengacu pada berbagi komponen yang diperlukan, yaitu komponen visi, pembiayaan, dan lain-lain. Pendidikan yang dilakukan Umar tergolong berhasil dengan adanya upaya mengembalikan/ menyadarkan masyarakat yang membangkang terhadap Islam.
Di era millennial ini zona dan brand pendidikan semakin meningkat, namun sangat banyak anak didik gagal di segi pembentukan karakter sehingga hal ini menjadi sisi kelemahan pendidikan zaman sekarang sekaligus perbedaan dengan keberhasilan pendidikan pada zaman Umar. Namun demikian bukan berarti harus mengikuti kembali model pembelajaran seperti pada masa Umar karena mengingat sosial kehidupan sudah jauh berbeda. Oleh karenanya di Indonesia dibentuk kurikulum 2013, selain mereka (baca: peserta didik) harus mampu menjawab tantangan zaman juga harus berakhlak mulia sehingga menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Belum lagi masih banyak anak-anak bangsa yang tidak terjamah di bidang pendidikan, meskipun berbagai cara telah dipikirkan oleh lembaga/ instansi terkait, salah satu penyebabnya adalah faktor ekonomi. Apalagi di Indonesia pendidikan bernaung di bawah dua atap (Kemendikbud dan Kemenag/ Dikti dan Diktis) sehingga mengacu kepada permasalahan tumpul tajamnya anggaran. Untuk menetralisir hal ini sangat diperlukan optimalisasi peran/ fungsi Baitul Mal untuk ranah pendidikan sehingga pendidikan bisa stabil bagi generasi millennial dan meraka pun berani keluar dari kebiasaan lama (out of the box).