Harian Analisa| Selasa, 16 Februari 2016
Banda Aceh, (Analisa). Tiga kelompok etnik bersenjata (Ethnic Armed Organizations/EAOs) Myanmar berkunjung ke Aceh pada14-20 Februari 2016 guna bertemu dengan beberapa tokoh dan organisasi di Aceh.
Kelompokyang berasal dari etnik Karen ini adalah kelompok bersenjata yang sudah menandatangani perjanjian gencatan senjata nasional (National Ceasefire Agreement/NCA) Myanmar, yang terdiri atas Karen National Union/Karen National Liberation Army (KNU/KNLA), Democratic Karen Benevolent Army (DKBA) dan Karen National Union/Karen National Liberation Army Peace Council (KNU/KNLA PC).
Misi kunjungan kelompok Karen untuk belajar, memahami proses perdamaian, pencapaian selama ini dan tantangan yang dihadapi bagi perdamaian yang berkelanjutan. Di samping itu, kelompok ini juga belajar pengalaman Aceh tentang tahapan- tahapan dalam transisi dan transformasi dari pejuang kemerdekaan yang kemudian menjabat posisi penting di pemerintahan.
Pada Senin (15/2), kelompok bersenjata Karen mengunjungi kantor Wali Nanggroe Aceh dan diterima Wali Nanggroe, Malik Mahmud. Pada kesempatan ini Malik memaparkan perjuangan Aceh, konflik Aceh serta proses perdamaian yang telah diinisiasi sejak 1999 dengan difasilitasi Henry Dunant Centre (HDC) dan sempat mengalami proses maju mundur hingga ditandatangani perjanjian damai dengan Pemerintah Indonesia di Helsinki, Finlandia.
“Dalam proses menuju damai Aceh banyak tantangan dan hambatan yang dihadapi, hampir sama dengan konflik Myanmar yang saat ini sudah mulai memasuki fase damai, namun masih ditemui beberapa tantangan,” ujar Malik Mahmud.
Ia menganjurkan para pihak berkonflik, kelompok bersenjata di Myamar mengikuti cara-cara melalui perundingan atau dialog. Dulu pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berpikir tidak ada solusi selain berperang, namun ternyata ada harapan solusi melalui dialog yang ternyata membawa damai berkelanjutan dan menguntungkan semua pihak.
“Jika Anda melakukan dialog maka Anda akan mendapat dukungan dari rakyat dan juga komunitas internasional,” papar Malik.
Pada akhir diskusi Wali Nanggroe berharap kelompok-kelompok bersenjata ini bersatu agar menjadi lebih kuat dan dianggap penting oleh pemerintah nasional. Kelompok Karen juga diharapkan dapat mengambil kesempatan berdialog agar tercapainya perdamaian dan mengambil keuntungan. “Perdamaian ini bukan hanya untuk kelompok Karen tapi juga rakyat Anda,” pungkas Malik yang juga mantan Perdana Menteri GAM ini.
Dalam kunjungan ini kelompok bersenjata terdiri atas 15 pejabat tinggi dan sayap militer kelompok Karen yang dipimpin Jenderal Isaac Po, didampingi staf dari Center for Peace and Conflict Studies dan bekerjasama dengan lembaga riset International Center for Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS), lembaga riset di bawah Unsyiah, UIN Ar- Raniry dan Unimal yang berpusat di Aceh.
Selain berdiskusi dengan Wali Nanggroe, kelompok bersenjata ini juga akan belajar dan berdiskusi secara intensif dengan Gubernur Aceh, Walikota Banda Aceh, para mantan kombatan dan anggota GAM, anggota partai lokal di Aceh, akademisi, LSM, organisasi masyarakat sipil, media, dan pihak-pihak yang pernah berkontribusi dalam proses perdamaian Aceh sejak 1999.
Memasuki tahun keempat transisi di Myanmar ada banyak perubahan yang sudah dan masih terjadi di bawa pemerintah militer/sipil yang baru dipimpin oleh mantan Jenderal Thein Sein. Sebelum menjadi Presiden, mengumumkan pemerintahannya akan mengubah dan memperbaiki sektor sosial, ekonomi dan sosial.
Kelompok etnik bersenjata Karen salah satu kelompok yang ikut menandatangani perjanjian gencatan senjata untuk seluruh negeri pada Oktober 2015. Delapan organisasi bersenjata etnik ikut menandatangani NCA. Setelah dua tahun proses damai dimulai oleh pemerintah baru, strategi negosiasi dari dua pihak menjadi lebih matang.
Saat ini, semua upaya bertujuan untuk menjalankan dan melaksanakan kerangka untuk dialog politik bersamaan dengan negara Myanmar yang sedang dalam proses perubahan pemerintah yang dipimpin pemimpin National League of Democracy (NLD), Aung San Syu Kyi. Salah satu komponen penting agenda perbaikan politik adalah memulai pembicaraan damai dengan berbagai kelompok bersenjata etnik. Mereka telah memperjuangkan pemerintah pusat Myanmar sejak kemerdekaan tahun 1948 untuk kesetaraan, penentuan nasibnya sendiri dan bentuk pemerintahan serikat yang benar.
Sesudah beberapa pertemuan perdamaian dengan kelompok bersenjata etnik yang mulai sejak 2011, Pemerintah Myanmar telah menandatangani perjanjian gencatan senjata bilateral dengan 14 dari 17 kelompok bersenjata utama. (mhd) [Source]