Sebelum 26 Desember 2004, gempa dan tsunami telah beberapa kali melanda Aceh. Masyarakat Simeulue mengingat dengan baik tsunami yang terjadi pada tahun 1907. Pesisir Aceh Besar pernah diterjang dua tsunami yang hanya berjarak sekitar 60 tahun pada tahun 1394 dan 1450 (Sieh, Daly, McKinnon, dkk, 2015). Setelah 26 Desember 2004, pesisir Aceh kembali diguncang gempa dengan kekuatan 8,5 SR dan 8,2 SR pada 11 April 2012. Berbagai peristiwa tersebut menunjukkan rentannya Aceh terhadap ancaman gempa dan tsunami di masa mendatang.
Gempa 11 April 2012 menunjukkan bahwa Aceh belum sepenuhnya siaga menghadapi gempa dan tsunami. Saat itu, dua dari enam sirene peringatan dini tsunami baru diaktifkan pada pukul 16:48 dan 17:20 atau 70 dan 102 menit setelah gempa pertama (Tim Kaji Cepat, 2012). Kemacetan juga terjadi di beberapa ruas jalan di Banda Aceh sehingga sebagian masyarakat membutuhkan waktu lebih dari 45 menit untuk sampai ke tempat tinggi. Hal tersebut cukup berbahaya mengingat para peneliti Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) memperkirakan bahwa tsunami paling cepat dapat menerjang Banda Aceh dalam 35 menit (Syamsidik, Rasyif, & Kato, 2015).
Di sisi lain, terdapat penurunan perhatian pemerintah dan masyarakat pada upaya pengurangan risiko bencana (PRB) di Aceh. Anggaran Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) untuk 2015 hanya sekitar 20 milyar atau kurang dari 50% dari anggaran lembaga ini beberapa tahun lalu. Berbagai program PRB dengan dukungan lembaga donor yang dilaksanakan pada masa rehabilitasi dan rekonstruksi seperti sekolah siaga bencana dan kampanye pengurangan risiko bencana di masyarakat juga tidak berlanjut. Lebih buruk lagi, masa banjir donor saat rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami membuat sebagian pemangku kepentingan memandang bahwa program PRB itu selalu membutuhkan biaya yang tinggi.
Untuk membangkitkan kembali pentingnya pengurangan risiko bencana di Aceh, diskusi ini akan membahas pentingnya menjadikan pengurangan risiki bencana sebagai bagian dari budaya dan kegiatan sehari-hari. Diskusi ini ingin mendorong peringatan tsunami dalam bulan Desember juga dilakukan dalam berbagai bentuk kegiatan PRB. Diskusi ini terutama ingin merencanakan bersama berbagai bentuk kegiatan PRB yang dapat difasilitasi oleh generasi muda secara mandiri dan berkelanjutan.