ICAIOS Guest Lecturer Series
QUO VADIS ACEH?
by:
Dr. Bahrun Abubakar, M.Pd
Philosopher, Associate Professor at FKIP Unsyiah
PhD in Education from Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung
JUM’AT, 18 MARET 2016 | 16.30-18.00 WIB | RUANG SEMINAR ICAIOS
Open & Free | Registrasi (0651) 755 2368/ info@acehresearch.org
About GLS:
Aceh sebagai propinsi yang paling fenomenal di Indonesia dapat dilihat dari berbagai perpektif. Jika kita bisa berandai berada di nun jauh di atas langit sana, melihat nusantara khatulistiwa, barangkali kita akan terpukau melihat sebuah negeri di pucuk barat palau Sumatera yang alamnya indah menawan bagaikan nirwana. Jika kita rajin membaca buku sejarah entah yang bertemakan Islam, Indonesia, bahkan sejarah Asia, kita akan menemukan percikan kisah tentang kehebatan sebuah negeri peninggalan silsilah kerajaan yang klimaksnya bernama Iskandarmuda, yang begitu berjaya.
Aceh juga punya rekam jejak yang paling menarik dalam bingkai Indonesia merdeka. Bukan basa basi, Aceh adalah daerah modal bagi Indonesia. Aceh penyumbang terbesar bagi cikal bakal Indonesia. Tidak bisa dibantah, kecuali oleh mereka yang suka mengabaikan sejarah.
Aceh punya kisah cinta yang begitu manis dengan Indonesia. Tetapi Aceh juga punya sejarah yang kelam dengan republik Nusantara. Perlawanan Aceh terhadap kekuasaan di Jakarta telah terjadi berulang, bahkan bagaikan siklus. Sisi lain, Aceh juga negeri yang sering ditimpa kemalangan bencana. Klimaksnya adalah gempa dan tunami akhir 2014 yang membuat Aceh lebih dikenal sekaligus lebih dikasihani dunia. Gempa dan tsunami yang merengut korban lebih 200 ribu jiwa itu telah menjadi “babakan sejarah” baru bagi Aceh, entah itu putih atau hitam. Dan, dari titik inilah Aceh perlu dilihat kembali, dibedah dan dianalisis untuk ditemukan potensi dan masalahnya, madu dan racunnya.
Bagaimanakah wajah Aceh hari ini sesungguhnya? Apa yang tampak, dan apa yang hidden? Adakah tanda-tanda kemajuan di Aceh? Akankah jarum sejarah Aceh bisa berjalan linear ke depan? Ataukah ia berjalan di tempat, atau malah mundur ke belakang? Semua bisa dipertanyakan. Kecuali sisi yang lain, secara filsafat budaya penting dipertanyakan: Bagaimanakah “Social Capital” Aceh hari ini? Inilah kegalauan kita yang perlu kita diskusikan lebih lanjut.