Oleh : T. Zulfikar Akarim
Penulis adalah Dosen UIN Ar-Raniry Banda Aceh
Warung kopi di Aceh merupakan intitusi sosial yang memiliki sejarah panjang. Hampir di setiap sudut kota maupun pedesaan di Aceh banyak dipenuhi dengan warung kopi. Bahkan, sudah menjadi kebiasaan sehari-hari, banyak orang Aceh menghabiskan pagi mereka sebelum melakukan kegiatan lainnya untuk sekedar mencicipi segelas kopi di warung kopi. Mereka yang berasal dari perkotaan, pedesaan, kalangan mahasiswa, profesional, sampai eksekutif maupun legeslatif mencicipi segelas kopi di warung kopi.
Bagi kebanyakan orang Aceh, baik pecinta kopi maupun tidak, mengunakan institusi warung kopi untuk bersosialisasi. Misalnya, pembicaraan yang terjadi bisa berkisar masalah politik, pendidikan, olah raga, sampai hal-hal yang remeh temeh.
Ketika jaman sudah berubah, bisnis-bisnis bercorak internasional, seperti KFC dan lain sebagainya, sudah bermunculan di Aceh, bahkan ketika pertumbuhan teknologi tak terbendung lagi, institusi sosial warung kopi masih terus berkembang, dia tidak tergilas zaman, bahkan dia bersinergi dengan pertumbuhan teknologi tersebut.
Warung kopi di Aceh sekarang ini sudah banyak berubah bentuk, dia sudah mentransformasi dirinya, sehingga, bermunculan warung-warung kopi yang menyediakan WIFI. Jaringan internet dan layar LCD sudah menjadi bagian tak terpisahkan di warung-warung kopi Aceh. Maka, tidak heran kalau warung kopi di Aceh sudah dipenuhi oleh mahasiswa dengan laptop di tangan. Sebagian besar dari mahasiswa, maupun profesional mendatangi warung kopi, sambil menghirup segelas kopi hangat, mereka menjelajahi segenap pelosok dunia dengan laptop kecil di tangan mereka.
Kenyataan ini tentu sebuah kemajuan, walaupun ekses negatif dengan munculnya WIFI gratis juga tidak terelakkan, namun tulisan ini ingin melihat sisi positifnya, dan tentu tidak mengenyampingkan sisi negatif dari munculnya warung kopi ber WIFI. Warung kopi yang selama ini hanya menjadi sebuah institusi sosial, berubah menjadi sebuah institusi, dimana proses pendidikan juga berlangsung. Siswa dan mahasiswa sering terlihat baik di siang maupun malam hari meng akses internet di warung-warung kopi di banyak tempat di Aceh.
Fenomena ini menegaskan bahwa banyak pelajar di Aceh dewasa ini sudah melek teknologi. Internet dan laptop bagi mereka sudah bukan lagi barang asing, sama halnya dengan telepon genggam. Kemampuan para siswa dan mahasiswa ini dalam mengakses banyak hal melalui internet, tanpa disadari merubah pola pikir mereka, dan juga merubah gaya belajar mereka. Siswa dan mahasiswa tersebut sudah lebih independent dan mampu mencari informasi dalam bidang apapun.
WIFI yang ditawarkan secara gratis oleh para pengusah warung kopi mampu menyedot minat siswa/mahasiswa. Warung-warung kopi di hampir semua sudut kota banda Aceh dipenuhi oleh siswa/mahasiswa dengan laptop ditangan mereka. Para pencari ilmu tersebut terlihat antusias memaikan buruf-huruf di keyboard komputer mereka. Mereka juga terlihat asyik menulusuri dunia maya.
Terlepas dari website apapun yang mereka browse (tentunya bukan website senonoh), sudah menunjukkan bahwa WIFI apalagi yang gratis bisa menyedot minat mereka datang ke warung kopi. Mereka tidak hanya mernghirup kopi segar tapi sekaligus bisa menjelajahi dunia di depan duduk mereka. Nah, kalau seandainya WIFI yang ada di warung kopi tersebut mampu menjadi magnet untuk siswa/mahasiswa, alangkah eloknya kalau fasilitas WIFI juga tersedia secara gratis dikampus-kampus dan disekolah-sekolah. Perpustakaan disetiap kampus perlu dipasang WIFI, sehingga minat yang sama untuk ke warung kopi juga terlihat di perpustakaan tersebut. Memang di kampus-kampus Aceh, setidaknya di dua kampus yang menjadi ’jantong hate’ rakyat Aceh, UIN Ar-Raniry dan Universitas Syiah Kuala sudah tersedia WIFI, namun masih terasa belum maksimal, dan jaringan yang tersedia masih belum mencukupi.
Sebagian orang Aceh yang sudah pernah mengenyam pendidikan di negara maju, seperti Amerika Serikat maupun Australia, tentu bisa merasakan magnetnya WIFI yang tersedia disemua sudut kampus. Mahasiswa datang ke kampus dengan membawa laptop dan meng akses internet gratis. Kampus juga menyediakan komputer gratis untuk semua mahasiwa. Fenomena ini sangat efektif menarik minat mahasiswa untuk berlama-lama di kampusnya.
Pemerintah Aceh melalui dana pendidikan yang lumanyan banyak perlu melakukan terobosan ini. Selain mengirim putra-putri Aceh ke luar negeri, alangkah baik kalau sebagian dana tersebut digunakan untuk menbantu lembaga pendidikan menyediakan fasilitas internet gratis kepada siswa/mahasiswa nya.
Kalau para pengusaha kopi di Aceh mampu menjadikan warungnya sebagai ’tempat pendidikan’, dimana pengunjungnya bisa menikmati tekologi internet, alangkah ironinya, kalau lembaga pendidikan di Aceh plus bantuan dari pemda tidak mampu melakukannya. Semoga, suatu saat nanti lembaga pendidikan di Aceh mampu menjadi magnet bagi siswa/mahasiswanya, walaupun melalui program sederhana seperti pengadaan WIFI gratis yang memiliki kecepatan yang memadai, sehingga konsentrasi mahasiswa akan berpindah dari ber WIFI riya di warung kopi, berpindah ke ber WIFI riya di kampus mereka.