Oleh : Asrul Sidiq
Penulis adalah Staf Pengajar PWK Unsyiah
Kota Banda Aceh genap berumur 812 tahun bertepatan pada tanggal 22 April 2017 yang lalu bersamaan dengan Hari Bumi. Umur yang kalau dibandingkan dengan kota-kota lain di Indonesia ada yang memasukkannya dalam daftar lima kota tertua di Indonesia. Dari beberapa sumber yang penulis telusuri hanya tiga kota yang lebih tua dari Banda Aceh yaitu Palembang, Salatiga, dan Magelang.
Dari beberapa penelusuran di dunia maya pada tanggal tersebut, warga Kota Banda Aceh terlihat lebih familiar dengan Hari Bumi dan Hari Kartini yang jatuh sehari sebelumnya dibandingkan dengan hari jadi Kota Banda Aceh sendiri. Hal ini membuat penulis teringat akan pengalaman ketika menghadiri pertemuan antar kota, dimana ketika kota-kota seperti Bandung, Pontianak, dan Semarang familiar disebut dengan nama kota mereka. Sementara ketika menyebut Banda Aceh sering kali disebut dengan Aceh walaupun jelas pada saat itu hadir sebagai perwakilan kota. Sama ketika tamu dari luar Aceh akan datang ke Banda Aceh, maka jarang sekali mendengar bahwa mereka menyebut akan ke Banda Aceh seperti menyebut akan ke Medan, Padang, dan Ambon. Namun sebutan yang sering terdengar adalah akan ke Aceh meskipun lokasi yang dituju sebenarnya adalah spesifik ke Banda Aceh. Seolah-olah Banda Aceh belum memiliki identitas khusus/spesial sebagai ibukota provinsi yang membedakan dengan Aceh sebagai provinsi.
Berbicara mengenai identitas tentu erat kaitannya dengan asal usul. Dari berbagai sumber yang coba penulis telusuri bahwa hari jadi Kota Banda pada tanggal 22 April 1205 ini didasarakan kepada permulaan pemerintahan Sultan Alaidin Johansyah. Pada Seminar Hari Jadi Kota Banda Aceh yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Banda Aceh pada tanggal 26-28 Maret 1988 di Banda Aceh disepakati bahwa Hari Jadi Kota Banda Aceh adalah tanggal 1 Ramadhan 601 H, hari Jum'at bertepatan dengan tanggal 22 April 1205 M. Dimana istana yang didirikan oleh Sultan Alaidin Johan Syah yang merupakan pusat kerajaan bernama Kandang Aceh berlokasi di Kampung Pande. Kota Madani dan Gemilang Kota Banda Aceh yang luluh lantak diterjang bencana gempa dan tsunami pada tahun 2004 kemudian mencoba bangkit dengan mengusung slogan “building back better” menuju Banda Aceh yang lebih baik.
Slogan ini berlaku secara luas di Aceh dimana slogan yang diumumkan oleh Presiden SBY ini kemudian menjadi slogan BRR Aceh dan Nias. Pemerintah Kota Banda Aceh kemudian menerjemahan better tersebut dengan istilah “Kota Madani”. Dengan jumlah penduduk sebesar 250.303 jiwa dan luas 61,36 km 2 (Statistik Banda Aceh 2016), Kota Banda Aceh dari beberapa tahun kebelakang mempunyai visi yaitu “Banda Aceh Model Kota Madani”. Menurut Pemerintah Kota Banda Aceh Kota Madani adalah kota yang ramah dan partisipatif dalam setiap pembangunan. Sehingga akan lahir kota yang ramah, taat aturan, sejahtera, berbudaya dan beradab.
Kata madani dalam Bahasa Inggris identik dengan kata civil atau civilized (beradab). Penggunaan kata madani ini diawali penggunaanya untuk kata Masyarakat Madani. Masyarakat madani dalam Bahasa Inggris diterjemahkan sebagai Civil Society yang dapat diartikan sebagai suatu masyarakat yang beradab dalam membangun, menjalani, dan memaknai kehidupannya. Kini dalam waktu yang tidak lama lagi Banda Aceh akan memiliki walikota yang baru dengan slogan kota yang baru juga. Slogan yang dibawa oleh walikota terpilih pada masa kampanye adalah “Mewujudkan Banda Aceh Gemilang” atau lebih singkat kita sebut dengan “Kota Gemilang”. Kota yang berorientasi ada kepentingan publik dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam salah satu sesi FGD Penyusunan Draft RPJM Kota Banda Aceh 2017-2022 yang berlangsung di Bappeda Kota Banda Aceh beberapa waktu lalu, salah satu peserta FGD perwakilan dari PERTISA (Persatuan Tiga Roda Seluruh Aceh) Banda Aceh memberikan masukan yang cukup berkesan bagi penulis. Perwakilan perkumpulan para pengendara becak motor ini mengungkapkan aspirasinya dalam forum dengan mengatakan “dari pemaparan program yang disampaikan semuanya hanya pada proyek/fisik, seharusnya butuh program untuk pembangunan masyarakat”. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat merasa penting dan peduli akan pembangunan kota senada dengan yang disampaikan perwakilan pertisa tersebut.
Tantangan terbesar dalam pembangunan kota saat ini adalah bagaimana warga kota bersama-sama ikut membangun kota. Sampai kapanpun harapan warga akan berada diatas pelayanan yang diberikan oleh pemerintah karena keterbatasan sumber daya. Untuk menutup gap ekspektasi/harapan tersebut maka dibutuhkan kolaborasi antara pemerintah dan warga. Sebagaimana hal yang lazim dikeluhkan pemerintah bahwa penyebab program tidak berjalan efektif adalah karena minmnya dukungan dan kesadaran masyarakat dalam ikut serta membangun dan menjaga lingkungan kota. Berapa banyak peraturan yang sudah dibuat tapi tidak berjalan karena warga tidak melihat hal tersebut sebagai hal yang penting. Jane Jacobs seorang ahli perencanaan kota berkata bahwa kota memiliki kemampuan untuk menyediakan sesuatu untuk semua penghuninya, namun hanya karena dan hanya ketika ia dibentuk oleh semua penghuninya.
Kalau kita analogikan sistem birokrasi dan pelayanan publik dalam suatu kota sebagai sebuah “pasar” dengan pemerintah dan legislatif sebagai “supply” dan warga sebagai “demand”. Maka yang jadi tantangan terbesar saat ini adalah pada bagian “demand”. Ketika pemerintah sebagai “supply” sudah terorganisir dalam struktur yang baik, namun warga sebagai “demand” masih kurang terorganisir sehingga dibutuhkan pengorganisasian warga lewat pemberdayaan masyarakat. Dengan berkembangnya era informasi, penyampaian informasi dan pemberdayaan masyarakat menjadi salah satu hal yang membuat hal tersebut menjadi lebih mudah. Dunia baru dengan akses ke informasi dan pengetahuan harus dimanfaatkan sebagai media yang potensial dalam kolaborasi antara pemerintah dan warga dalam membangun kota. Hal pertama yang harus dimulai adalah memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh informasi dan pengetahuan tentang pembangunan kota itu sendiri. Hal ini memang terlihat akan membuat rumit. Kota yang terus berkembang berimplikasi dengan tantangan pembangunan perkotaan yang lebih kompleks. Hal yang kompleks niscaya membutuhkan solusi-solusi yang lebih rumit dan kaya. Seringkali pembangunan menjadi tidak efektif karena takut akan hal rumit dan lebih menyukai hal praktis dan tidak kaya akan pengetahuan.
Kota Madani yang sudah memberi banyak pondasi pembangunan untuk di Banda Aceh yang selanjutnya akan dilanjutkan dengan Kota Gemilang diharapkan mampu mendorong warga untuk memproduksi pengetahuan perkotaan bersama sehingga muncul prakarsa dan inisiatif antara warga dan pemerintah. Hal itu hanya mungkin ketika warga dilibatkan secara aktif, terorganisir, dan terhubung dalam proses pembangunan kota. Percaya bahwa masyarakat adalah sumber solusi bukan hanya sumber persoalan. Partisipasi dan kolaborasi adalah kunci masa depan kota dimana prinsip “Madani” dan “Gemilang” dapat menjadi landasan dan cita-cita untuk itu. Selamat Milad ke-812 Kota Banda Aceh!
* Asrul Sidiq, ST, M.Sc, Peneliti ICAIOS, Staf Pengajar PWK Unsyiah, Sekjen Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Aceh.
Email: asrul.sidiq@acehresearch.org