Oleh : Arfiansyah
Penulis adalah Program Manager ICAIOS dan
Dosen Prodi Sosiologi Agama UIN Ar-Raniry
Laman resmi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menginformasikan bahwa semenjak tahun 2004 hingga tahun 2017, KPK telah mengeksekusi 497 koruptor dari berbagai kalangan. Di luar angka tersebut, KPK sedang melakukan proses penyelidikan, penyidikan dan proses hukum lainnya terhadap banyak pelaku lain yang telah ditangkap. HIngga saat ini, KPK terus memperhatikan transaksi politik yang berlangsung di berbagai daerah. Di Aceh sendiri, kasus paling mutakhir dan masih hangat hingga saat ini adalah Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, BUpati Bener Meriah, Ahmadi, dan beberapa orang lain yang disinyalir terlibat dalam proses suap proyek Dana Otonomi Khusus. Dengan demikian sejauh ini KPK telah menangkap sebanyak 69 anggota DPR, 149 anggota DPRD dan 104 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi di Indonesia (Kompas.com). Melihat denomena ini, Wakil Presiden Republik Indonesia, Jusuf Kalla bahkan mengatakan bahwa Indonesia mencetak rekor dunia untuk jumlah koruptor yang ditangkap.
Dengan jumlah koruptor yang ditangkap sedemikian banyak dan selalu menjadi sorotan publik, nampaknya KPK belum mampu memberikan efek jera terhadap pejabat publik lainnya sehingga praktik korupsi terus terjadi. Penulis berpendapat, ada dua hal yang menjadi penyebabnya yaitu: mahalnya biaya politik, dan terbentuknya budaya korupsi.
Biaya Politik
Semenjak lengsernya Orde Baru, kekuasaan di seluruh Indonesia berpusat dan terkonsentrasi di Jakarta. Dengan sistem kekuasaan yang bersifat otoriter, kekuasaan negara berada di tangan sekelompok kecil. Konon dikuasai oleh mereka-mereka yang berada di Cendana dan “guritanya.” Mereka mengintervensi kegiatan politik dan proses pergantian kepemimpinan politik di daerah-daerah. Intervensi yang tinggi tersebut membuat biaya politik di daerah menjadi kecil.
Oleh : Saifuddin
Penulis adalah Mahasiswa Prodi S2 Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana UIN Ar-Raniry
Umar bin Khattab adalah khalifah kedua setelah Abu Bakar. Ia dilantik oleh umat Islam berdasarkan rekomendasi Abu Bakar tatkala merasa usianya tidak lama lagi. Keputusan penunjukan Umar diharapkan mampu meminimalisir polemik yang terjadi di antara umat Islam (Ahmad Al-Usairy, 2003: 155). Karena pada masa Khalifah Abu Bakar terdapat banyak problem, di antaranya orang-orang yang tidak membayar zakat, orang murtad, dan nabi palsu.
Umar bin Khattab, selain sebagai kepala pemerintahan, juga berperan sebagai seorang faqih. Perannya dalam pandangan hukum membuatnya berpengaruh besar pada masanya hingga saat ini. Pada masa Khulafaur Rasyidin, syari’at Islam juga tidak dapat diterapkan secara kaffah, karena pada saat itu para sahabat dihadapkan pada berbagai kenyataan hidup dan kondisi sosial yang berbeda dengan apa yang terjadi pada masa rasul, sehingga mereka dituntut untuk melakukan ijtihad dan musyawarah. Pada suatu ketika para sahabat bisa saja sependapat mengenai satu hal tetapi pada saat yang lain tidak menutup kemungkinan justru berselisih pendapat. Hal demikian juga terjadi pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab (Quhtb Ibrahim Muhammad, 2002: 8). Umar ketika ingin memutuskan sesuatu yang terkait dengan hukum, selalu berpegang teguh pada Al-Qur’an sebagai perundang-undangan (dustur) utama dan pertama dalam Islam. Setiap pandangan hukum yang difatwakan olehnya selalu berdasarkan ketentuan tersebut. Namun demikian, sebagian besar kebijakan yang dibentuk untuk menetapkan suatu hukum, oleh Umar tidak lepas dari aspek-aspek kemaslahatan umat, seperti menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan sosial, tolong menolong, dan penegakan hak-hak yang ada dalam masyarakat, termasuk juga dalam kebijakan ekonomi. Umar juga dikenal sangat berani melakukan ijtihad, hal ini dilakukan karena Umar melihat lebih jauh dan lebih mendalam terhadap ajaran Islam, yaitu adanya prinsip kemaslahatan umat (Abbas Mahmud Aqqad, 1992: 46).
Read more: Pendidikan Islam Pada Masa Umar Bin Khattab Dan Aplikasinya Di Era Millennial