Banda Aceh adalah salah satu kota tua di Asia Tenggara. Dalam sejarahnya yang panjang, Banda Aceh telah melewati berbagai era dan peristiwa penting, seperti masa kesultanan Aceh Darussalam (1205-1873), masa perang Aceh dan kolonialisasi (1873-1945), masa kemerdekaan, dan yang terakhir adalah tsunami Samudra Hindia tahun 2004. Kini, peninggalan/warisan fisik dari masa lalu tersebut tersebar luas di Kota Banda Aceh dan bertahan di sela pengembangan kota yang baru.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengungkap potensi warisan fisik dan non-fisik Kota Banda Aceh sebagai motor pengembangan kota. Dengan pendekatan desain lanskap, isu preservasi warisan budaya, sistem jejaring kota, ruang terbuka publik serta pariwisata dikaji sebagai bentuk kompromi masa lalu dan masa depan kota.
Sebelum 26 Desember 2004, gempa dan tsunami telah beberapa kali melanda Aceh. Masyarakat Simeulue mengingat dengan baik tsunami yang terjadi pada tahun 1907. Pesisir Aceh Besar pernah diterjang dua tsunami yang hanya berjarak sekitar 60 tahun pada tahun 1394 dan 1450 (Sieh, Daly, McKinnon, dkk, 2015). Setelah 26 Desember 2004, pesisir Aceh kembali diguncang gempa dengan kekuatan 8,5 SR dan 8,2 SR pada 11 April 2012. Berbagai peristiwa tersebut menunjukkan rentannya Aceh terhadap ancaman gempa dan tsunami di masa mendatang.
Gempa 11 April 2012 menunjukkan bahwa Aceh belum sepenuhnya siaga menghadapi gempa dan tsunami. Saat itu, dua dari enam sirene peringatan dini tsunami baru diaktifkan pada pukul 16:48 dan 17:20 atau 70 dan 102 menit setelah gempa pertama (Tim Kaji Cepat, 2012). Kemacetan juga terjadi di beberapa ruas jalan di Banda Aceh sehingga sebagian masyarakat membutuhkan waktu lebih dari 45 menit untuk sampai ke tempat tinggi. Hal tersebut cukup berbahaya mengingat para peneliti Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) memperkirakan bahwa tsunami paling cepat dapat menerjang Banda Aceh dalam 35 menit (Syamsidik, Rasyif, & Kato, 2015).
Read more: PDS: Desember Sebagai Bulan Pengurangan Risiko Bencana
Reported by: Ariane Boulanger
Judith and her team conducted previously a research on the perception of “the West” by Indonesian called “Beyond Occidentalism”. The main founding was that it is not that central anymore. She then decided to focus on Middle East, which is the rising power in terms of religion for Indonesia. There is three researches in this project: on the Haji, on the TKI and hers on experiences of Indonesian students and alumnis in Middle East and more specifically Cairo.
So far, she spent two weeks in Cairo and did fieldwork in Jogjakarta, Madura, Lombok, Jakarta and Aceh. Her theoretical background uses Henrietta’s Moore definition of globalization “ordinary’s people ability to enact change and social transformation related to their imaginations and desires for new possibilities and self-making”. She thus focuses on how ordinary people do globalization. She had three main research questions: Which imaginaries are related to Indonesian student’s lived experiences in Cairo? How are new subjectivities related to ideas of Indonesia’s place in the world? We change when we go abroad, how are those changes related to Indonesia as a whole? What does this mean for the navigation of differences?