PDS: World-making in Transnational Spaces
- Professor of Social and Cultural Anthropology at the University of Freiburg, Germany
- Member of the interdisciplinary research group on "Grounding Area Studeis in Social Practice"
Read more: GLS: Religion and Memory in a Time of Danger: The Atomic Bombs in The Age of Fukushima
Thalassemia merupakan salah satu jenis penyakit kelainan darah dan merupakan penyaki tketurunan yang diturunkan oleh kedua orangtua yang membawa sifat thalassemia. Enam sampai sepuluh dari setiap 100 orang Indonesia membawa gen penyakit ini. Kalau sepasang dari mereka menikah, kemungkinan untuk mempunyai anak penderita talasemia berat adalah 25%, 50% menjadi pembawa sifat (carrier) talasemia, dan 25% normal. Aceh dengan penduduknya +/- 5 juta jiwa dan merupakan salah satu propinsi dengan prevalensi thalassemia tertinggi di Indonesia dengan angka mencapai13.8 % (kemenkes 2010).
Beberapa waktu yang lalu saya mendapatkan kesempatan, mengikuti 2nd PAN - ASIAN Conference di Hanoi, Vietnam. Pengalaman ini merubah cara pandang saya terhadap thalassemia, yang sebelumnya diperkirakan rata-rata umur harapan hidupnya sekitar 20 tahun ternyata diluar negeri mereka bisa tumbuh layaknya anak-anak normal, bisa berkarier dan bekeluarga.
Peneliti ICAIOS, Ibnu Mundzir, terpilih sebagai salah satu fellow program Hope and Dreams (HANDs!) yang diminati oleh 657 pelamar dari Indonesia. HANDS! adalah program pertukaran pemuda/i yang diselenggarakan setiap tahun oleh The Japan Foundation Asia Center untuk mengembangkan rasa kebersamaan dan persahabatan antar warga di Asia. HANDs! 2015 diikuti oleh 25 mahasiswa/i dan profesional muda dari delapan negara di Asia (Indonesia, Jepang, Filipina, Thailand, Malaysia, India, Myanmar, dan Nepal).
Program ini berlangsung selama dua tahun. Pada 5 -15 Oktober, para peserta berkunjung ke Banda Aceh serta Tacloban dan Manila, Filipina untuk belajar tentang pendidikan bencana serta pemulihan pasca tsunami di Aceh dan topan Haiyan di Tacloban. Selain melihat langsung daerah pasca bencana, para peserta juga belajar dari berbagai nara sumber seperti Museum Tsunami Aceh, Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala, dan Komunitas Tikar Pandan di Banda Aceh serta Ashoka Foundation, HABI Education Lab, Curiosity Research Design, Disaster Education through Experiential Learning (DEEL), dan National Institute of Geological Sciences, University of the Philippines di Filipina. Pada 2016, para peserta akan berkunjung ke Chiang Rai di Thailand dan Sendai di Jepang. Setelah itu, para peserta akan berkolaborasi untuk merancang dan melaksanakan program pendidikan bencana di komunitas mereka masing-masing.
Salah satu kelebihan program ini adalah adanya peserta dari beragam negara dan latar belakang profesi yang memberikan keragaman perspektif dalam merancang program pendidikan bencana. Sebagai contoh, lima peserta dari Indonesia memiliki latar belakang praktisi dan peneliti pengurangan risiko bencana, aktivis di sektor pendidikan, seniman, desainer produk, dan praktisi periklanan. Para peserta dari Indonesia sepakat untuk merancang dan mengimplementasikan modul pendidikan bencana untuk pendidikan anak usia dini (PAUD) dan taman kanak-kanan (TK). PAUD dan TK dipilih karena jenjang ini relatif belum banyak mendapatkan intervensi di bidang pendidikan bencana dibandingkan SD, SMP, dan SMA sedangkan anak-anak usia dini memiliki kerentanan tersendiri saat bencana. Pendidikan kebencanaan di tingkat PAUD dan TK akan dirancang dan dilaksanakan dalam berbagai permainan dan kegiatan yang melibatkan anak, guru, dan wali murid.
Read more: Peneliti ICAIOS Belajar Pendidikan Bencana di Empat Negara